Kamis, 26 Maret 2015

Pengertian HAM atau Hak Asasi Manusia


Secara universal ham adalah hak dasar yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir sampai mati sebagai anugerah dari tuhan YME. semua orang memiliki hak untuk menjalankan kehidupan dan apa yang dikendakinya selama tidak melanggar norma dan tata nilai dalam masyarakat. Hak asasi ini sangat wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi serta dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah. setiap orang sebagai harkat dan martabat manusia yang sama antara satu orang dengan lainnya yang benar-benar wajib untuk dilindungi dan tidak ada pembeda hak antara orang satu dengan yang lainnya

Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari tuhan yang maha esa. 

Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari tuhan YME.

 
secara filosofis, pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai dijaman sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus (Shaw, 2008)


Ciri Khas Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi manusia memiliki ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hak hak yang lain. Ciri khusus hak asasi manusia sebagai berikut :
  1. Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
  2. Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik atau hak ekonomi, social, dan budaya.
  3. Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang sudah ada sejak lahir.
  4. Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya. Persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.
Teori- Teori Hak Asasi Manusia (HAM)

Ada beberapa teori dari para ahli yang mendukung perkembangan hak asasi manusia. Teori hak asasi manusia (theory of human rights) adalah sebagai berikut.

1) Teori Perjanjian Masyarakat / Theory Society Agreement (1632-1704)
Teori ini dikemukakan oleh John Locke. Teori ini menyebutkan bahwa ketika manusia berkeinginan membentuk negara maka semua hak yang ada pada manusia harus dijamin dalam undang-undang (Masyhur Effendi: 2005).

2) Teori Trias Politika / Theory Trias Politica (1688-1755)
Teori ini dikemukakan oleh Montesquieu. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga, yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Pemisahan ini dilakukan untuk melindungi hak asasi dan kekuasaan penguasa (Masyhur Effendi : 2005).

3) Teori Kedaulatan Rakyat / Theory of Sovereignty of the People (1712-1778)
Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa penguasa diangkat oleh rakyat untuk melindungi kepentingan rakyat, termasuk hak asasi (Masyhur Effendi : 2005).

4) Teori Negara Hukum / Theory State of Law (1724-1904)
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant. Teori ini menyatakan bahwa negara bertujuan untuk melindungi hak asasi dan kewajiban warga negara (M. Tahir Azhary : 1992).




Sumber:


Rabu, 11 Maret 2015

Pengertian Konsep Bentuk & Sifat Demokrasi Dalam Sistem Kepemerintahan



Abstract

A democracy is a political system and ideology in which the people or community are made found from western. Democracy is an encouraging development of political equality and under conditions of political freedom, it’s mind a government of the people, by the people, for the people, either directly or through representatives. Democracy to develop as human institutions and political practice in which exercized to response of social culture in each countries environment. When the democracy transplant to non-western and some of ex-colonize countries in which different historical and culture, it’s the need and goals of reform and adaption as well as new environment. The problems for exercising sovereign of democracy, how implementation at work of government of the people, by the people, for the people, provides opportunities for effective participation in practice and a fact. This paper will approach these issues, as well as offer some materials digest for real democracy.

Keywords: government, sovereign, democracy.

Demokrasi adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara.

Demokrasi ini kemudian dibangun dan dikembangkan sebagai suatu rangkaian institusi dan praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk merespon perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di masing-masing negara. Ketika demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam negara-negara non-Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda.

Terdapat sesuatu hal yang sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi, yaitu masalah bagaimana pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat itu diimplementasi dan direalisasi, sehingga efektif dalam praktek dan dalam kenyataan. Tulisan ini hendak menyajikan pemaparan sebagai bahan pemikiran yang bertalian dengan konsep demokrasi, termasuk di dalamnya partisipasi demokrasi dan kehidupan bernegara yang demokratis.

Demokrasi Dalam Konsep

Istilah demokrasi berasal dari dua asal kata, yang mengacu pada sistem pemerintahan zaman Yunani-Kuno yang disebut ‘demokratia’, yaitu ‘demos’ dan ‘kratos atau kratein’. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos atau cratein yang berarti memerintah, pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Warren, 1963: 2), warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara. Dengan demikian dilihat dari arti kata asalnya, demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda.
Pada zaman Yunani-Kuno, kata demokrasi digunakan untuk menunjuk pada ‘government by the many’ (pemerintahan oleh orang banyak), sebagai lawan dari ‘government by the few’ (pemerintahan oleh sekelompok orang). MacGregor Bums, dalam Government by the People (1989: 3), memberikan pengertian demokrasi, sebagai:

A system of government in which those who have authority to make decisions (that have the force of law) acquire and retain this authority either directly or indirectly as the result of winning free elections in which the great majority of adult citizens are al­lowed to participate.

Henry B. Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960: 70), memberikan pengertian demokrasi, sebagai:
A democratic political system is one in which public politicies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.
Dari rumusan tersebut memberikan sifat pemahaman umum terhadap suatu negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu:
  • demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mempunyai elemen-elemen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan;
  • orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan dan menegakkan hukum;
  • kekuasaan untuk mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa.
Dari tiga sifat pemahaman umum tersebut, suatu negara demokrasi mempunyai tiga pemahaman utama yang meliputi hakekat, proses dan tujuan demokrasi (Huntington, 1995: 4). Huntington, melihat demokrasi dalam tiga pendekatan umum yaitu: sumber wewenang bagi pemerintah; tujuan yang dilayani oleh pemerintah; dan prosedur untuk membentuk pemerintahan.

Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Henry B. Mayo, 1960: 70). Dengan kata lain demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama berdasar aturan hukum yang berpihak pada rakyat banyak. Harris G. Warrant dalam Our Democracy at Work (1963: 2), memberikan rumusan pengertian demokrasi sebagai, “a government of the people, by the people, for the people”. Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary (1999: 444), memberikan arti demokrasi sebagai “government by the people, either directly or through representatives”.
Dari pemahaman mengenai demokrasi di atas, maka pilihan terhadap negara demokrasi akan mempunyai konsekuensi­ demokrasi yang harus diperhatikan, yakni memberi­kan kesempatan kepada rakyat selaku warga negara untuk menjalankan hak dan kewajiban politiknya dalam bernegara. Dikemukakan oleh Robert A. Dahl dalam On Democracy (1998: 38), bahwa “democracy provides opportunities for effective participation; equality in voting; gaining enlightened understanding; exercising final control over the agenda; inclusion of adults”. Artinya, bahwa dengan demokrasi akan memberikan kesempatan­ kepada rakyat untuk partisipasi yang efektif; persamaan dalam memberikan suara; mendapatkan pemahaman yang jernih; melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda; dan pencakupan warga dewasa. Konsekuensi demokrasi tersebut akan memberi­kan standar ukuran umum dalam melihat suatu negara sebagai negara demokrasi. Dengan kata lain, ketika kesempatan­-kesempatan yang merupakan konsekuensi dari standar ukuran umum negara demokrasi tersebut tidak dijalankan, maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai negara demokratis.

Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani-Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara Abad ke-IV sebelum Masehi sampai Abad ke-VI Masehi. Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaan demokrasi yang dipraktekkan secara langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Dalam perkembangannya telah mengalami dua kali bentuk transformasi demokrasi, yakni transformasi demokrasi negara kota di Yunani dan Romawi-Kuno pada Abad ke-V sebelum Masehi, serta beberapa negara kota di Italia pada masa abad pertengahan, dan transformasi yang terjadi dari demo­krasi negara kota menjadi demokrasi kawasan bangsa, negara, atau negara nasional yang luas (Dahl, 1992: 3-4).

Dengan adanya dua bentuk transformasi demokrasi tersebut, telah mengubah tatanan secara mendasar bentuk demokrasi sebagai akibat terjadinya perpindahan dari negara kota ke negara bangsa. Robert A. Dahl mengemukakan delapan akibat yang ditimbulkan dari adanya penerapan demokrasi pada wilayah negara bangsa yang luas, yaitu: perwakilan; perluasan yang tidak terbatas; batas-batas demokrasi partisipatif; keanekaragaman; konflik; poliarkhi; pluralisme sosial dan organisasional; dan perluasan hak-­hak pribadi. Dari sini terlihat bahwa bentuk dan susunan negara demokrasi pada masa Yunani-Kuno sangat berbeda dengan bentuk dan susunan negara demokrasi pada masa sekarang.

Pada negara kota bentuk demokrasi dilakukan secara langsung (direct democracy), yaitu rakyat berkumpul di suatu tempat yang dinamakan ‘ecclesia’ untuk secara langsung memecahkan masalah yang muncul secara bersama-sama (Kusnardi dan Saragih, 1995: 85). Oleh karena itu demokrasi di negara kota pada masa Yunani-Kuno dikenal pula sebagai demokrasi partisipatif dan tidak mengenal lembaga perwakilan (Dahl, 2001: 16). Pada negara-negara modern dikembangkan model demokrasi tidak lang­sung melalui lembaga perwakilan (Saragih, 1988: 79). Lembaga perwakilan memegang peranan yang penting dalam menata jalannya roda pemerintahan bagi negara demokrasi modern, walaupun pada mulanya keberadaan lembaga perwakilan bukan dimaksudkan sebagai perangkat sistem demokrasi. Hal inilah yang merupakan perbedaan secara mendasar antara negara kota dengan negara bangsa dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Praktek demokrasi pada negara-negara kota tidak terdapat lembaga perwakilan, sebab demokrasi menjadi pertemuan warga kota untuk membahas masalah secara bersama-sama.

Suatu hal yang penting berkenaan dengan demokrasi pada abad pertengahan, yakni lahirnya dokumen ‘Magna Charta’, suatu piagam yang berisikan semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di Inggris, bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan ‘previleges’ bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Lahirnya piagam ini, kendati tidak berlaku bagi rakyat jelata, dapat dikatakan sebagai lahirnya tonggak baru bagi perkembangan demokrasi. Sebab dari piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip dasar, yakni kekuasaan raja harus dibatasi, dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja (lihat Ramdlon, 1983: 9).

Kecaman dan perombakan terhadap absolutisme monarkhi didasarkan pada teori rasionalistis sebagai ‘social contract’ yang salah satu harapannya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (natural) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang baik raja, bangsawan, maupun rakyat jelata (lihat Budiardjo, 1980: 55).

Dari sini terlihat bahwa teori hukum alam merupakan usaha untuk merombak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam suatu asas yang disebut democracy (pemerintahan rakyat). Dua filsuf besar, John Locke (1632-1704) dari Inggris dan Charles Louis de Secondat, Baron de La Bre’de et de La Montesquieu (1689-1755) dari Perancis, memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John Locke mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberty, property). Sedangkan Montesquieu mengemukakan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui teori ‘separation of powers’ atau ‘trias politica’, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip semua kekuasaan itu tidak boleh dipegang hanya oleh seorang saja.

Dari pemikiran tentang ‘hak-hak politik rakyat’ dan ‘pemisahan kekuasaan’ inilah terlihat munculnya ide pemerintahan rakyat (democracy). Tetapi dalam kemunculannya sampai saat ini demokrasi telah melahirkan dua konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan peranan masyarakat, yaitu demokrasi konstitusional Abad ke-XIX dan demokrasi konstitusional Abad ke-XX yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep negara hukum.

Keberadaan lembaga perwakilan dalam demokrasi modern sangat penting dalam suatu negara bangsa (Strong, 1960: 171). Bentuk lembaga perwakilan menurut John Stuart Mill merupakan pilihan bentuk pemerintahan yang ideal. Dikemukakan oleh Mill dalam Utilitarianism Liberty Representative Government (1988: 233), sistem perwakilan dalam demokrasi modern: “……but since all cannot, in a community ex­ceeding a single small town, participate personally in any but some very minor por­tions of the public business it follows that the ideal type of a perfect government must be representative”.

Melalui lembaga perwakilan, persoalan-­persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat akan dapat diselesaikan. Dengan demikian lembaga perwakilan berfungsi untuk menjem­batani dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu secara umum lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi perundang-undangan, fungsi pengawasan dan fungsi sebagai sarana pendidikan politik (Saragih, 1988: 88). Fungsi-fungsi ini dilakukan oleh lembaga perwakilan dalam rangka mewujudkan cita-cita demokrasi modern yang dewasa ini diikuti oleh sebagian besar negara-­negara di dunia.

Penggunaan fungsi-fungsi tersebut secara teoritis mudah dipahami, tetapi dalam tataran praktek sulit dilakukan. Kesulitan ini muncul karena lembaga perwakilan lebih menempatkan sebagai perwakilan politik daripada perwakilan rakyat. Secara teoritis dalam masyarakat terdapat tiga prinsip perwakilan, yaitu perwakilan melalui partai politik (political representa­tive), perwakilan daerah (regional representative) dan perwakilan fungsional atau utusan golongan (func­tional representative), (Ashiddiqie, 2002: 183-184). Di samping itu, di dalam masyarakat masih terdapat juga adanya ‘representation in ideas’ yang mungkin belum tertampung oleh representasi yang telah ada. Oleh karena itu, apa yang diputuskan oleh lembaga perwakilan belum tentu dapat diterima oleh masyarakat.

Keadaan demikian akan memunculkan kesenjangan antara wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan dengan rakyat yang diwakilinya. Pada gilirannya akan memunculkan persoalan mendasar di seputar keberadaan lembaga perwakilan. Pertanyaan mendasar apakah si wakil itu sebatas mewakili partai politik yang merupakan induk tempat bernaung dalam karier politiknya, atau si wakil itu mewakili rakyat secara keseluruhan dan melepaskan ikatan dari induk partai politiknya.

Terdapat beberapa teori sebagai landasan berpikir guna mencari solusi terbaik dalam membangun hubungan yang ideal antara wakil dan yang diwakilinya, antara lain teori mandat Jean Jacques Rousseau; teori organ Von Gierke; teori sosiologi Reiker; teori hukum obyektif Leon Duguit; teori Gilbert Abcarian dan teori A. Hoogerwerf (lihat Koesnardi dan Saragih, 1985: 189; Saragih, 1988: 82-86; Busroh, 2001: 144-149).
  • Teori mandat, adalah teori yang melihat si wakil duduk di lembaga perwakilan karena mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Teori mandat dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau, muncul di Perancis sebelum revolusi. Teori ini menyesuaikan diri seiring perkembangan zaman, sehingga dalam teori mandat dikenal adanya mandat imperatif, mandat bebas dan mandat representatif.
    • Teori mandat imperatif, mengajarkan bahwa si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan sesuai instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya, kemudian baru dapat melaksanakannya. Kalau setiap kali ada masalah baru harus minta mandat baru, hal ini berarti akan menghambat tugas lembaga perwakilan tersebut, maka lahirlah teori mandat baru yang disebut ‘mandat bebas’.
    • Teori mandat bebas, dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Black Stone di Inggris. Teori mandat bebas, mengajarkan bahwa si wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut teori ini, si wakil adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat.
    • Teori mandat representatif, mengajarkan bahwa si wakil dianggap bergabung dalam suatu lembaga perwakilan (parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan (parlemen), sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemiliknya dan tidak ada pertanggungjawaban. Lembaga perwakilan (parlemen) yang bertanggungjawab kepada rakyat.
  • Teori organ Von Gierke, adalah teori yang memandang negara sebagai suatu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan seperti eksekutif, parlemen dan mempunyai rakyat, yang semuanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu dalam konteks hubungan antara wakil dan yang diwakilinya, teori organ mengajarkan bahwa setelah rakyat memilih lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang Dasar. Teori organ ini didukung oleh Paul Laband dan George Jellinek.
  • Teori sosiologi Rieker, menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan benar-benar membela kepentingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.
  • Teori hukum obyektif Leon Duguit, melihat bahwa dasar hubungan antara rakyat dan parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintahan. Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas merupakan dasar dari hukum obyektif yang timbul. Hukum obyektif inilah yang membentuk lembaga perwakilan menjadi satu bangunan hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan.
  • Gilbert Abcarian, mengemukakan adanya empat tipe hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya, yakni si wakil bertindak sebagai ‘trustee’ (wali), si wakil bertindak sebagai ‘delegate’ (utusan), si wakil bertindak sebagai ‘politico’, dan si wakil bertindak sebagai ‘partisan’.
    • Si wakil bertindak sebagai trustee, bebas bertindak atau mengambil keputusan men­urut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakili.
    • Si wakil bertindak sebagai delegate atau duta dari yang diwakilinya. Dalam melaksanakan tugasnya, si wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya.
    • Si wakil bertindak sebagai ‘politico’, kadang-kadang bertindak sebagai trustee dan adakalanya bertindak sebagai delegate.
    • Si wakil bertindak sebagai ‘partisan’, bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilih yang diwakilinya, maka lepas hubungan dengan pemilihnya tersebut dan mulailah hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan ter­sebut.
  • Hoogerwerf, mengemukakan adanya lima model hubungan antara si wakil dengan yang mewakilinya, yakni model delegate, model trustee, model politicos, model kesatuan, model diversifikasi.
    • Model delegate, si wakil bertindak sebagai yang diperintah seorang kuasa yang harus menjalankan perintah dari yang diwakilinya.
    • Model trustee, si wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa, yang memperoleh kuasa penuh dari yang diwakilinya, sehingga dapat bertindak berdasarkan pendirian sendiri.
    • Model politicos, si wakil kadang-kadang bertindak sebagai delegasi dan kadang-kadang bertindak sebagai kuasa penuh.
    • Model kesatuan, anggota parlemen dilihat sebagai wakil seluruh rakyat.
    • Model diversifikasi (penggolongan), anggota parlemen dilihat sebagai wakil dari kelompok teritorial, sosial atau politik tertentu.
       Dalam praktek, demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda, sehingga timbul masalah antara wakil dan yang diwakilinya. Artinya, apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat dalam lembaga perwakilan tidak selamanya dapat diterima oleh rakyat. Keadaan ini sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi, berkaitan dengan pilihan akan melaksanakan demokrasi elitis atau demokrasi partisipatoris.

Seperti telah dikemukakan bahwa demokrasi adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi ini kemudian dibangun dan dikembangkan secara pesat sebagai suatu rangkaian institusi dan praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk merespon perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di masing-masing negara. Ketika demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam negara-negara non-Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda, (Wignjosoebroto, 2002: 485-493).

Konsep Demokrasi Elitis

Demokrasi elitis, melihat bahwa rakyat sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-­persoalan yang kompleks dalam masalah­masalah pemerintahan. Selain itu rakyat lebih baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang merusak budaya, masyarakat dan kebebasan (Walker, 1987: 3). Rakyat dianggap sudah cukup berperan dalam kehidupan negara melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara periodik dalam negara. Melalui pemilihan umum, rakyat sudah melakukan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Dalam demokrasi elitis, peran rakyat digantikan oleh sekelompok elit politik dalam melaksanakan pemerintahan. Setelah dilakukannya pemilihan umum, maka proses bernegara dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, sepenuhnya diwakili oleh lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan akan menjalankan tugas dan fungsinya secara bebas tanpa dibayangi oleh kontrol dan protes dari rakyatnya. Di bawah sebuah pemerintahan perwakilan ini, warga negara sering menyerahkan kekuasaan yang sangat besar yang dapat digunakan sesukanya atas keputusan­-keputusan yang luar biasa penting. Inilah sisi gelap dari demokrasi perwakilan, walaupun diakui juga ada keuntungan-keuntungannya (Dahl, 2001: 157). Demokrasi elitis adalah demokrasi yang semu, hanya diperankan oleh sekelompok or­ang yang mengatasnamakan rakyat melalui justifikasi pemilihan umum.

Konsep Demokrasi Partisipatoris

Demokrasi partisipatoris, menuntut peran aktif berbagai komponen demokrasi secara keseluruhan. Komponen demokrasi adalah organ-organ kelembagaan, kekuatan-kekuatan masyarakat dan kekuatan­-kekuatan individual yang akan saling menunjang dan melengkapi dalam berjalannya sistem demokrasi.

Dalam demokrasi partisipatoris, akan memberikan peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara effektif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik. Prinsip dalam demokrasi partisipatoris adalah persamaan bagi seluruh warga negara dewasa untuk ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda yang telah diputuskan secara bersama. Hal ini dilakukan agar perjalanan kehidupan bernegara mendapatkan pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat dalam rangka terwujudnya pemerintahan yang baik (Dahl, 2001: 157).

Demokrasi partisipatoris pada hakekatnya adalah demokrasi yang secara sadar akan memberdayakan rakyat dalam rangka mewujudkan pemerintahan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama rakyat’. Adanya pemberdayaan rakyat yang akan berupa partisipasi langsung ini penting, karena sistem perwakilan rakyat melalui lembaga perwakilan tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘rep­resentation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi (Dahl, 2001: 168-169).

Menurut Samuel P Hunting­ton, partisipasi masyarakat dalam demokrasi partisipatoris dapat terjadi ketika pembangunan sosial ekonomi berhasil mencapai tingkat pemerataan yang lebih besar, sehingga melahirkan stabilitas politik dan pada gilirannya memunculkan partisipasi politik yang demokratis. Partisipasi ini dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu partisipasi mobilisasi dan partisipasi otonom. Landasan sebagai pijakan dari partisipasi ini dapat berupa kelas, kelompok, lingkungan, partai dan golongan (faction) (Samuel P. Hutington dan Joah Nelson, 1994: 9-27). Pada akhirnya, pelibatan rakyat secara aktif dalam proses penentuan agenda, pengambilan keputusan dan kontrol terhadap kebijakan yang telah diambil secara bersama, maka rakyat akan memberikan dukungan dengan penuh antusias dan dapat merasakan bahwa mereka mempunyai tingkat ‘ownership’ yang tinggi dalam bernegara (Dahl, 2001: 6).

 Dari pemahaman konsep demokrasi partisipatoris tersebut, keberadaan lembaga perwakilan merupakan salah satu komponen dalam demokrasi. Dinamika demokrasi modern dalam ‘nation state’, selain lembaga perwakilan yang diisi melalui pemilihan umum, masih terdapat elemen demokrasi lainnya yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di sinilah arti pentingnya, interest group, presure group, tokoh masyarakat, pers dan partai politik, ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuatan-kekuatan politik ini merupakan kekuatan infra struktur politik yang perlu diberikan tempat secara proposional dalam demokrasi partisipatoris. Peran dari elemen-elemen masyarakat ini sangat diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi partisipatoris. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, termasuk bidang pemben­tukan undang-undang, telah menjadi issue penting dalam konteks global (Craig dan Mayo, 1995: 1).

Konsep Partisipasi Demokrasi

Munculnya konsep partisipasi dalam sistem demokrasi sehingga melahirkan ‘participatory democracy’, berkaitan dengan adanya gerakan ‘New Left’ sebagai pengaruh dari ‘legitimation crisis’ pada tahun 1960-an. Gerakan ‘New Left’ yang memunculkan demokrasi partisipatoris, adalah ‘the main counter-models on the left to the legal democracy’. Legal democracy bertumpu pada premis ‘pluralist theory of politics’ yang mengacu kepada teori ‘overloaded government’, sedangkan demokrasi partisipatoris bertumpu pada premis ‘Marxist’ yang mengacu kepada teori ‘legitimation crisis’ (David Held, 241-264).

Gerakan dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan telah merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Oleh karena itu, wacana tentang partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses berdemokrasi di Indonesia.

Huntington memberikan definisi ‘partisipasi politik’, sebagai “kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi dapat secara spontan, secara kesinambungan atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”

Dari definisi partisipasi politik tersebut, terlihat bahwa substansi dari partisipasi adalah kegiatan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah, tanpa melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi yang dilakukannya. Dalam definisi tersebut terdapat empat hal pokok, yaitu: (Huntington dan Nelson, 1994: 6-8)

           partisipasi, adalah mencakup ‘kegiatan­-kegiatan’, tidak memasukkan di dalamnya yang berupa ‘sikap-sikap’ terhadap orientasi politik;
           partisipasi, adalah kegiatan politik warga negara perorangan dalam peranannya sebagai warga negara biasa; artinya, bukan kegiatan dari orang-orang yang memang berkecimpung dalam profesi politik atau pemerintahan;
           partisipasi, adalah hanya merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan peme­rintah;
           partisipasi mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mem­pengaruhi pemerintah, tanpa mempedulikan apakah kegiatan itu benar-benar mempunyai dampak untuk itu atau tidak.



Dari definisi partisipasi politik yang di dalamnya mengandung empat hal pokok tersebut, diambil pemahaman bahwa gerakan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan, pada dasarnya berpangkal pada adanya desirability dari masyarakat untuk mewujudkan self-government dalam demokrasi partisipatoris (William N. Nelson, 1980: 51). Setidaknya terdapat lima penyebab pokok, yang memberikan dorongan terhadap keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan, yaitu modernisasi; perubahan-perubahan struktur kelas sosial; pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern; konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik; dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan (Almond, 2001: 45-46).

 Penyebab dari keterlibatan masyarakat untuk menyalurkan desirability dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut, berangkat dari suatu asumsi bahwa yang menjadi dasar demokrasi dan partisipasi adalah dirinya sendiri yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya (Peter L. Barger, dalam Surbakti, 1999: 140). Dengan asumsi demikian, rakyat melakukan partisipasi yang dilakukan dalam berbagai bentuk partisipasi politik yang dapat berupa konvensional maupun non-konvensional.

Dalam kaitan partisipasi dalam proses politik, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi seseorang, yaitu kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Kesadaran politik, adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang dapat berupa pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, serta minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah, ialah penilaian sseorang terhadap pemerintah, apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak (Surbakti, 1999: 144).

  Berkaitan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi dan rendahnya partisipasi seseorang dalam melihat suatu persoalan dalam lingkungannya, dikemukakan adanya empat tipe partisipasi, yaitu: (Jeffry M Paige, dalam Surbakti, 1999: 144)
  • apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif;
  • apabila seseorang tingkat kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis);
  • apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, maka akan melahirkan militan radikal; dan
  • apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan partisipasi yang tidak aktif (pasif).
Dari berbagai hal yang berkaitan dengan partisipasi di atas, terlihat bahwa problematika partisipasi dalam kehidupan berdemokrasi menjadi suatu masalah yang dapat diperdebatkan. Tuntutan adanya partisipasi dalam suatu negara demokrasi pada satu sisi merupakan suatu keniscayaan, namun di sisi yang lain dipertanyakan apakah partisipasi itu dapat dilakukan dalam kerangka kebebasan dan persamaan warga negara dalam penyelenggaraan suatu negara. Permasalahan tersebut kemudian menuntun pada pertanyaan, apakah pemerintahan yang demokratis itu tergantung pada ada dan tidaknya partisipasi dari masyarakat dalam membuat keputusan pemerintahan. Jika adanya partisipasi ini menjadi suatu ukuran dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis, maka ukuran apakah untuk menentukan bahwa suatu partisipasi masyarakat itu merupakan keinginan bersama dalam masyarakat.

Partisipasi masyarakat hakekatnya merupakan persoalan nilai-nilai yang bertalian dengan morality suatu masyarakat. Ketika permasalahan partisipasi terkait dengan permasalahan moral, maka akan sulit menentukan nilai-nilai moral dari masyarakat yang ukurannya niscaya berbeda-­beda. Dengan demikian, dalam demokrasi bergantung pada penyerapan nilai-nilai moral yang baik di dalam masyarakat.

Kehidupan Bernegara Yang Demokratis

Pada dasarnya, demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat dalam mengambil keputusan­-keputusan politik dan menjalankan peme­rintahan. Keputusan politik yang dimaksud adalah kesepakatan yang ditetapkan menjadi sebuah aturan yang akan mengatur kehidupan seluruh rakyat itu sendiri. Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang sangat mendasar dalam demokrasi, karena demokrasi tidak hanya berkaitan dengan tujuan sebuah ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.

Menurut Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler dalam The Irony of Democracy Uncommon Introduction to American Politic, (1996: 7), gagasan dasar dari demokrasi merefleksikan empat hal, yaitu:
  • merupakan partisipasi rakyat di dalam keputusan yang membentuk kehidupan individu-individu dalam suatu masyarakat;
  • merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas dengan pengakuan hak-hak minoritas, yaitu hak kebebasan berbicara, ber­serikat, berkumpul, mendapatkan informasi, membentuk partai oposisi, dan menjalankan jabatan-jabatan publik;
  • merupakan ko­mitmen untuk menghargai martabat individu dan menjamin nilai-nilai kehidupan yaitu, kebe­basan dan kepemilikan;
  • suatu komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
      Demokratisasi, muncul sebagai kebutuhan dan masalah apabila kehidupan bernegara yang dicita-citakan sebagai kehidupan bernegara yang demokratis ternyata belum terwujud seperti yang diharapkan. Karena itu, demokratisasi merupakan suatu proses yang hendak mengatasi batasan-batasan diskriminatif, untuk merealisasi atau menyempurnakan kehidupan demokrasi. Sehingga warga atau lapisan masyarakat tidak terhalang oleh status atau hak-hak sosialnya, dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas yang menyangkut urusan-urusan publik dan pemerintahan.

Dengan melihat bangsa-bangsa Barat, realisasi membangun warga masyarakat dengan komunitas politik yang demokratis dan dibangun berdasarkan hukum, yaitu hukum yang merupakan manifestasi kesepakatan bersama para warga masyarakat sebagai supra strukturnya, telah berlangsung melalui revolusi-revolusi berdarah. Revolusi yang diperlukan untuk menumbangkan kekuasaan para “Tuan Baron” berikut sistemnya yang diskriminatif dan berkelas-kelas, sebelum suatu masyarakat baru yang didasarkan kedaulatan para warga dapat dibangun. Revolusi kemerdekaan Amerika (1776) dan revolusi Perancis (1789) merupakan dua contoh dalam sejarah dunia. Kedua revolusi tersebut merupakan revolusi yang diilhami cita-cita menuju terbentuknya masyarakat baru dengan warga yang terbebaskan dari segala bentuk perhambaan, berkedudukan yang setara di antara sesamanya tanpa diskriminasi apapun. Slogan revolusioner dan ikrar cita-cita rakyat yang dicanangkan pada masa revolusi itu, ialah ‘liberty, equality and pursuit of happiness’ di Amerika dan ‘liberte, egalite et fraternite’ di Perancis. Diikrarkan bahwa sesungguhnya setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah warga yang pada asasnya berkebebasan dan berkesetaraan dan berkesamaan derajat dan martabat. Ikrar ini menjadi bernilai sebagai hukum dasar yang positif tatkala dielaborasi lebih lanjut sebagai suatu proklamasi atau deklarasi, yakni ‘Declaration of Independence’ di Amerika dan ‘Declaration des Droit de I’Homme et du Citoyen’ di Prancis. (lihat Wignjosoebroto, 2002: 485-493)

Memaklumkan secara terbuka persamaan derajat para warga, tanpa mengenal lagi pemisahan yang diskriminatif antara para “Tuan Baron” yang pada masa itu dibenarkan untuk dipertuan dan para hamba yang boleh diperbudak untuk selalu patuh pada perintah, sehingga deklarasi itupun menyuratkan hak-hak asasi manusia di dalam kedudukan mereka yang baru sebagai warga negara yang sebangsa. Sejumlah hak yang diyakini dan harus diakui sebagai hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk manusia, karena tanpa jaminan hak yang asasi seperti itu keselamatan dan kesejahteraan hidup sesama manusia akan sulit dipastikan. Hak-hak manusia yang karena bersifat asasi dan kodrati tidak akan dapat dicabut atau boleh dirampas oleh siapapun yang namanya sesama manusia. Hanya Tuhan Yang Esa semata yang dapat menghentikan berlakunya hak-hak itu (Wignjosoebroto, Ibid.).

Jean Jacques Rousseau mengemukakan prinsip-prinsip yang merupakan dasar kehidupan demokratis dalam negara, yaitu: rakyat adalah berdaulat, yakni merupakan kekuasaan yang ter­tinggi dalam negara; dalam negara tiap-tiap orang harus dihormati menurut martabat­nya sebagai manusia; dan tiap-tiap warganegara berhak untuk ikut membangun hidup ber­sama dalam negara, yakni mempunyai hak-hak publik (Theo Huijbers, 1995: 91-92). Hal lain yang segera terlihat dari paparan demokrasi dalam konsep dan praktek yang dikemukakan di atas, adalah suatu pemahaman bahwa prinsip demokrasi yang disebutkan di dalam suatu konstitusi tidak dengan sendirinya melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis. Materi konstitusi tentang wewenang dan cara bekerjanya kelembagaan negara, disebut sebagai sistem pemerintahan negara.

       Menurut sejarah pembagian kekuasaan negara, bermula dari gagasan tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam berbagai organ, agar tidak terpusat di tangan seorang raja absolut (monarchy). Gagasan itu antara lain dikemukakan oleh John Locke dalam Two Treaties of Government, yang mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut John Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang); kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang); dan kekuasaan federatif yang disebutnya sebagai ‘federative power of the commonwealth’ (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain). Montesquieu dalam ‘L’esprit des Lois’, mengemukakan alternatif bahwa untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara (la separation des pouvoirs)ke dalam organ-organ legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang, eksekutif kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan yudikatif kekuasaan mengadili jika terjadi pelanggaran atas undang-undang tersebut.

Dari dua konsep tersebut, cara pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu terlihat lebih dapat diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui departemen luar negeri masing-masing. Pemisahan kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan, oleh Immanuel Kant kemudian diberi nama ‘trias politica’ atau tiga pusat/poros kekuasaan negara. Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konsep pemisahan tersebut dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu secara bersamaan. Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam keadaan seimbang, diatur pula mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip checks and balances.

Dalam perkembangannya, penerapan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) meluas ke seluruh dunia dan menjadi paradigma tersendiri dalam pemikiran mengenai susunan organisasi negara modern. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau legislature, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi judikatif dikaitkan dengan lembaga peradilan. Cara kerja dan hubungan ketiga kekuasaan negara itu dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara.

Simpulan

Pada akhirnya problematika dalam pemaparan di atas telah menyangkut persoalan definisi dan ukuran demokrasi. Keberadaan lembaga perwakilan, baru mewakili masyarakat dari aspek political rep­resentative. Sedangkan di dalam masyarakat masih terdapat functional representative, regional representative dan idea representative.

Dalam partisipasi demokrasi, dikatakan oleh Joan Nelson bahwa “the participation theo­rist have failed to provide us with such a theory, and their arguments therefore radically incom­plete”. Partisipasi sebagai suatu intrumen demokrasi yang sangat diharapkan dalam membangun self-government bagi suatu negara demokrasi, ternyata tidak dapat bekerja secara utuh sebagai suatu teori, dan telah gagal dalam membangun argumen-­argumennya secara fundamental.
Dengan demikian dari pemaparan di atas terlihat adanya keterkaitan konsep demokrasi, partisipasi demokrasi dan kehidupan bernegara yang demokratis.






Pustaka Bacaan

Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulafan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve.
_____, 2002, Konstitusi dan Konstitusionalisme In­donesia di Masa Depan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI.
Beetham, David, (ed.), 1994, Defining and Mea­suring Democracy, London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications.
Bentham, Jeremy, 1979, The Theory of Legislation, India, Bombay: Tripathi Private Limited.
Budiardjo, Miriam, 1983, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Bums, James MacGregor, at. al, 1989, Government by The People, Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Busroh, Abu Daud, 2001, Ilmu Negara, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Craig, Gary, and Marjorie Mayo, (ed.), 1995, Com­munity Empowerment A Reader in Participation and Development, London & New Jersy: Zed Books Ltd.
Dahl, Robert A., 1998, On Democracy, USA; Yale Uni­versity Press.
_____, 1992, terjemah A Rahman Zainuddin, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
_____, 2001, terjemah A Rahman Zainuddin, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dye, Thomas R., and Harmon Zeilgler, 1996, The Irony of Democracy Uncommon Introduction to American Politic, California: Wardsworth Publishing Company.
Fathurrohman, Deden, dan Wawan Sobri, 2002, Pengantar llmu Politik, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Friedrich-Ebert-Sttiftung, 2003, Demos Kratos, Demokrasi Panduan bagi Pemula, Jakarta: The Ridef Institute.
Garner, Bryan A., (eds.), 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul, Minn.: West Group.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius.
Huntington, Samuel P, 1995, terjemah Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
______, dan Joan Nelson, 1994, terjemah Sahat Simamora,  Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.
Koesnardi, Moh., dan Bintan R Saragih, 1995, llmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mas’oed, Mohtar, (eds.), 2001, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mayo, Henry B., 1960, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University Press.
Mill, John Stuart, 1988, Utilitarianism Liberty Representative Government, London: JM Dent & Sons Ltd.
Naning, Ramdlon, 1983, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
Nelson, William N., 1980, On Justifying Democracy, London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Strong, C.F., 1966, Modern Political Constitutions, Lon­don: The English Language Book So­ciety and Sidwgwick & Jackson Lim­ited.
Walker, Geoffrey de Q, 1987, Initiative and Referen­dum: The People’s Law, Australia: The Centre for Independent Studies.
Warren, Harris G., at.al, 1963, Our Democracy at Work, Englewood Cliffs, USA: Printice Hall, Inc.
Wignjosoebroto, Sutandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Elsam-Huma.
—– ooo0ooo —–
* Dr. Kusnu Goesniadhie S, S.H., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
Makalah ini dimuat diDiH Jurnal Ilmu Hukum, Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, Vol.1, No.2.